Kumpulan Cerpen : Dia Yang Menangis




Oleh: syarifah lestari


TOK….TOK…! Kuketuk kaca jendela saat ia numpang bercermin disana. Siapa saja yang lewat biasanya menyempatkan diri menoleh kerumahku sekedar mengagumi bentuk tubuh atau memperbaiki rambut. Yang lain tak kupermasalahkan. Tapi dia menyebalkan.
Banyak orang mengauminya, kata mereka dia cantik, supel, keren, gaul, dan banyak lagi. Tapi, aku belum pernah mendengar ada yang mencela moralnya selain hatiku sendiri. Setiap ia melintas dihadapanku, dengan reflek kualihkan pandanganku. Padahal, aku wanita dia wanita. Aku hanya taku raut wajahku tanpa sengaja mengekpresikan kebencian. Aku memang benci dia, tapi bukan dirinya, bukan orangnya. Aku benci sifatnya, senyum murahanya, pakaian erotisnya, lengak-lengok maksiatnya, ditambah dengan rokok yang selalu terselip diantara kedua jari jemari tanganya.
Wanita muda yang malang, kenapa tidak ada yang mengingatkanya? Setiap sore ia berjalan-jalan entah kemana, dengan dada separuh terbuka, punggung melonggo, pingang mengantung. Mini skirt tak sampai lutut. Itu membuat aku selalu berpikiran buruk, kemana lagi kalau bukan….ah, paling-paling dugem! Aku menepis prasangka tidak baik walau seusai shalat Subuh dalam perjalanan dari masjid aku baru melihatnya pulang pagi itu. Diantara gadis-gadis lain yang mengunakan mukena, ia dengan percaya diri menyapa siapa saja, termasuk aku.



Sudah satu pekan lebih ia tidak lewat di depan rumahku, tidak bercermin dikaca jendelaku, dan bukan aku saja, teman-teman sebayaku yang biasanya marathon bersama tiba-tiba merasa kehilangan dia. Yang lebih mengejutkan, beberapa hari kemudian ia menjadi akrab denganku, lebih tepatnya mengakrabkan diri.
“Ta, ajarkan aku shalat!” permintaan tak terduga tiba-tiba meluncur dari mulutnya.
“Kenapa padaku? Masih ada Hanun, Lathifah dan teman-teman yang lain yang lebih pantas karena lebih banyak ilmunya” jawabku pada Meli, nama orang yang baru saja secara kasat kumelihanya.
Ia tidak melanjutkan dan berlalu membuatku merasa lega. Aku takut terbawa arus pergaulanya, jangankan menjadi seperti dia, dicap teman baiknya saja aku takkan bersedia. Kembali ia menghilang untuk beberapa hari lamanya.



Tak biasanya, Magrib ini aku beradu cepat dengan muadzin. Karena terlalu bersemangat menyaksikan berita persidangan koruptor, aku lupa bahwa jarum jam terus berputar dan matahari segera menengelamkan diri di peraduanya.
Aku mendapat tempat paling belakang bersama anak-anak kecil yang setelah shalat akan mengaji denga ustadz dan ustadzah masjid. Tapi aku tak terlambat sendirian, seseorang kemudian berdiri disebelahku. Sepertinya, bukan orang tua atau anak-anak terlihat dari posturnya yang hampir sama denganku, mungkin Wiwin atau Tita. Suara imam yang mulai membaca Fatihah menyadarkanku mengingat kembali tujuanya kemari.
“Assalamu’alaikum….” Para jamaah serempak menoleh kekanan, beberapa detik kemudian ke sebelah kiri. Dan, seseorang di sebelahku terlambat memutar kepala, kami saling berpandangan, aku seperti mengenal wajah itu. Meli, kenapa ia disini? Hampir semua orang memperhatikanya. Wajah-wajah mereka tak berbeda denganku. Semuanya mengandung keheranan. Bahkan, seorang dengan maksud berbisik tapi terlalu keras menghardik, “Kok kak Meli disini? Ngak salah tuh!”
Kulihat wajahnya memerah, ia tertunduk dan butiran-butiran bening perlahan mengalir. Segera mata-mata yang tadi menghakiminya meningalkan tontonan pilu itu.
Aku ingin menghiburnya tapi apa kata mereka nanti. Kulihat Tita pura-pura tak peduli, Lathifah sedang khusuk. Dia tak punya teman di temapt ini.
“Tak apa nanti mereka akan terbiasa” aku berujar lirih.
“Ini hukuman” jawabnya lemah. Aku menoleh padanya mencoba memahami maksud ucapanya.
“Aku ingin insyaf, tapi tidak ada yang bisa membantu. Aku tak punya teman yang baik,” ia melanjutkan dengan air mata kian deras.
Aku merasa berdosa mendengar keluh kesahnya, “Tapi kau harus berubah!” kulirik ia yang masih tertunduk.
“Tapi keadaanku takkan berubah.”
“Kenapa?”
“Karena aku….” Ia terisak hingga bergetar, sedu sedanya terdengar hingga kebarisan paling depan. Seketika mukena barunya basah di bagian dadanya tertumpah air mata yang membanjir.
“Ada apa?” aku mendesaknya.
“Aku diperkosa!”
Aku tak sangup mengatupkan bibirku. Darahku terasa berdesir cepat. Mataku tiba-tiba memanas. Kurasakan ada cairan empati yang keluar. Kenapa aku dulu tak memperdulikanya. Entah apa yang bisa kuucapkan pada-Nya. Syukur atau prihatin. Dengan musibah yang menimpanya, paling tidak ia tahu jalan ke tempat ini dan pernah menangis disini. 
 

Subscribe to receive free email updates: